Selasa, 24 Januari 2017

Mengunjungi Kota Jambi Untuk Pertama Kali

Jln Lintas Tengah Sumatera, Gunung Medan, Dharmasraya-Sumbar
Walaupun saya sudah berkali kali melewati propinsi Jambi, namun saya baru pertama kali berkunjung ke kota Jambi Minggu tanggal 22 Januari 2017 yang lalu. 

Perjalanan saya mulai dari Kota Pariaman jam 11 siang melewati Padang Panjang - Solok - Sawahlunto - Pulau Punjung - Koto Baru - Sungai Rumbai - Muara Bungo - Muara Tebo - Sungai Bengkal - Sungai Rengas - Muara Tembesi - Muara Bulian dan berakhir di Kota Jambi pada jam setengah empat malam. Jarak perjalanan sekitar 554 km ini kami tempuh dalam waktu 17 jam (termasuk istirahat 4 jam).  

Setelah melewati Lembah Anai dan Pendakian Silaing, kami memasuki Kota Padang Panjang sekitar jam 12 siang. Perjalanan dilanjutkan menuju Kota Solok melewati pinggiran danau Singkarak hingga tiba di kota Solok sekitar jam 1 siang. Cuaca terasa panas sehingga kami memutuskan makan siang di Sawahlunto saja yang berjarak sekitar setengah jam perjalanan dari kota Solok. Hingga tibalah kami di kawasan Muara Kalaban sekitar jam 1.30 siang di RM. Dendeng Batokok.

Setelah makan siang, perjalanan kami lanjutkan menuju perbatasan Sumbar-Jambi, kami sholat jamak Zuhur dan Asyar di Sungai Rumbai, kota terakhir di perbatasan Sumbar yang hanya berjarak 1 km dari kabupaten Bungo Propinsi Jambi. Perjalanan dilanjutkan dan 1,5 jam kemudian kami sudah sampai di Muara Bungo yang merupakan Ibukota Kabupaten Bungo - Jambi. Kalau kita dari Padang, kita akan belok kiri menuju jalan lintas ke Jambi beberapa meter setelah terminal Muara Bungo.

Kami sholat Magrib dan makan malam di kota Muara Bungo dan baru berangkat kembali sekitar jam 9 malam menuju kota Jambi. Rencananya kami akan konvoi dengan mobil family yang juga akan ke kota Jambi. Kami janjian berjumpa di depan Masjid Agung Muara Tebo, akan tetapi karena family tersebut masih lama lagi sampainya, maka kami putuskan melanjutkan perjalanan tanpa menunggu lebih lanjut.

Perjalanan malam itu melewati jalan yang berliku-liku dan dibeberapa tempat terdapat lubang-lubang besar yang cukup mengganggu kenyamanan. Pemandangan didominasi semak belukar, hutan, dan terkadang kebun penduduk. Kami melewati daerah Simpang Niam, Sungai Bengkal, Sungai Rengas, Mersam, dan juga Tembesi. Umumnya pola ruang di propinsi Jambi ini masih banyak hutan, semak belukar dan perkebunan rakyat dengan perkampungan-perkampungan-kecil. Setelah beberapa waktu kemudian terdapat kota-kota kecil sebagai sentra perdagangan. Dari segi demografi, penduduk propinsi Jambi ini cukup heterogen dengan dominasi warga lokal Melayu Jambi dan transmigran dari tanah Jawa. Untuk kawasan pasar dan sentra perdagangan kecil, banyak diisi oleh warga yang berasal dari Minang.

Jam 2 malam kami sampai di Muara Bulian, ibukota kabupaten Batanghari, yang hanya berjarak sekitar 1 jam perjalanan ke kota Jambi. Di Kabupaten ini saya menjumpai jembatan yang sangat panjang yang pernah saya temui (diluar Suramadu). Bahkan kata orang jembatan ini lebih panjang daripada jembatan Barelang yang ada di Batam. Kami singgah di warung makanan setelah lewat Kota Muara Bulian. Emak-emak pemilik warung melayani kami dengan mata mengantuk. Saya memanggil gadis penjual di warung dengan mbak karena mengira ia orang Jawa, tetapi mendengar percakapannya kemungkinan ia orang Jambi asli. Kami istirahat disini sambil mendinginkan mesin mobil. Sekitar warung ini juga terdapat supir truk beristirahat memarkirkan mobil.

Sekitar jam setengah tiga malam, perjalanan kami lanjutkan menuju kota Jambi. Jalanan menjelang kota Jambi malam itu didominasi oleh truk, baik yang sedang berjalan maupun yang parkir di pinggir jalan. Pada pukul tiga malam, kami sudah bertemu simpang jalan Lintas Timur Sumatera yang berada di kota Jambi, kami ambil jalan lurus menuju pusat kota untuk kemudian belok kiri menuju kawasan Telanai Pura.
Saya punya kesan yang baik selama di kota Jambi. Kotanya teratur, unik, dengan masyarakatnya yang majemuk dan terlihat rukun. Mudah-mudahan suatu saat saya akan ke kota Jambi lagi.


Jumat, 16 September 2016

Padang - Bukittinggi Via Malalak dan Minum Kopi

Padang dan Bukittinggi adalah dua kota utama di Propinsi Sumatera Barat. Padang merupakan ibukota propinsi dan dikenal sebagai pusat pemerintahan dan pendidikan sementara Bukittinggi dikenal sebagai pusat pariwisata dan pasar grosir. Secara umum terdapat dua jalan utama dari Padang ke Buktinggi, yaitu via Kota Padang Panjang dan via Malalak. Jalan via Malalak merupakan jalan alternatif karena jalan via Padang Panjang terkadang macet terutama disebabkan objek wisata dan pasar tumpah di sepanjang jalan. 

Kelebihan jalan via Malalak adalah kondisi jalan yang mulus dan lebar serta masih sunyi dan pemandangan yang alami. Jalur ini menyajikan pemandangan alam yang sangat bagus berupa perbukitan, gunung dan lembah. Pada tempat tertentu kita dapat menyaksikan panorama Samudra Indonesia dan kota sekitarnya di kejauhan. Jalan ini lebarnya sekitar 7 meter dan masih mulus. Hanya saja di beberapa tempat terdapat tanjakan yang cukup tajam dan panjang serta belokan yang cukup ekstrim. Jarak tempuh melalui jalan ini juga lebih panjang beberapa km dibandingkan jalan via Padang Panjang. Sebagai gambaran, panjang jalan Padang Bukittinggi via Padang Panjang adalah sekitar 87 km, sedangkan via Malalak (Simaka) sekitar 90 km dengan jarak tempuh normal sekitar 2 jam.

Kalau kita dari Kota Padang, untuk menempuh jalur ini kita belok kiri tidak jauh dari pasar Sicincin arah ke Pariaman. Sekitar 2 km kemudian tapatnya di daerah Koto Mambang, kita belok kanan dan sudah berada pada jalur Simaka (Sicincin-Malalak-Balingka) ini yang nantinya akan ketemu dengan jalan Bukittinggi-Maninjau di daerah Ampek Koto. Begitu sampai di Simpang tiga Ampek Koto, Agam, untuk ke Bukittinggi kita belok kanan (kalau belok kiri menuju Danau Maninjau).

Terkadang kalau ke Bukittinggi saya lewat jalan Malalak ini. Saat ini telah mulai bermunculan warung kuliner dan rest area di beberapa tempat. Fenomena orang selfie dan foto-foto juga terlihat dalam perjalanan saya menempuh jalur ini baru-baru ini.

Oya, kemarin saya dan kawan-kawan singgah di salah satu kedai kuliner yang berada di kawasan Malalak. Kedai ini menyediakan nasi dengan sambal-sambal kampung seperti jengkol, terung, kacang panjang dan lain-lain. untuk lauknya tersedia ayam, telur maupun ikan. Disini kami minum kopi yang nikmat di pondok sederhana yang berada di pinggir lembah. Kopi yang disajikan adalah kopi Aceh yang dibawa langsung dari Aceh. Kopi ini juga ditambah resep lainnya seperti beras merah yang disangrai (mungkin) dan dimasukan kedalam gelas bersama biji kopi yang ditumbuk kasar. Rasanya mak nyus dan satu gelas hanya Rp.5000 s/d Rp. 7.000 saja.